TAKDIR
CINTA ZARAH
Bahwa jodoh adalah
rahasia Allah, sebagai hambaNya kita hanya berusaha menjaga keimanan dan yakin
bahwa jodoh terbaik dari Allah akan datang jika kita mau bersabar menjaga hati
dan pikiran dari segala godaan hawa nafsu.
“Umurmu
sudah lebih dari cukup Zarah, umurmu sudah 23 tahun kan?” Ibunda Zarah,
Zulaikha, memberikan alasan. Dan suara Zarah tertahan saat melihat ayahnya
melangkah menuju tempat mereka duduk di ruang tamu.
“Apa
yang membuatmu berat menerima perjodohan ini?” tanya. Muhammad Daud, duduk tak
jauh dari Zarah, dan Zarah diam saja, menunduk tak berani menatap wajah
ayahnya.
“Apa
karena ia duda? Istrinya meninggal dua tahun lalu, meninggal pada saat
melahirkan, istri dan bayinya meninggal saat itu juga, makanya selama dua tahun
dia masih saja sendiri, ia laki-laki baik, bersih, ia staf ayah, jadi ayah tahu
bagaimana kesholehannya, ia akan menjadi imam yang baik untukmu,” kembali suara
Daud terdengar.
“Bukan
masalah duda atau perjaka, Ayah, tapi Zarah merasa belum siap saja menikah
dengan dia atau dengan yang lain,” sahut Zarah pelan.
“Kau
punya pacar?” tanya Daud.
“Astaghfirullah,
Ayah, tidak, Zarah belum pernah pacaran, Zarah berada di pesantren sejak SMP,
sampai berkuliahpun di sana, bagaimana mungkin Zarah punya pikiran ke arah sana
Ayah,” ujar Zarah menatap ayahnya dan menunduk kembali.
“Kalau
menunggu siap, maka kau takkan pernah siap, hal yang alami seperti ini tak
perlu kau menunggu siap, kamu akan bisa beradaptasi dengan sendirinya, kau bisa
memasak, melakukan semua pekerjaan ibu rumah tangga semuanya telah kau kuasai,
sama dengan Mbakmu Maryam pun seperti itu, lalu apa yang kau kawatirkan, besok,
dia, Yusuf, Muhammad Yusuf namanya, akan ke sini, kalian ta’ aruflah, lalu
sholat istiharah, memohon pada Allah semoga diberi kemudahan jika ia memang
jodohmu.”
Daud
bangkit, meninggalkan anak dan istrinya yang masih saja bungkam, hingga Daud
menghilang menuju kamar, barulah Zarah memeluk ibundanya sambal menangis.
“Gimana
ini, Ibu? Zarah belum siap, masa ia Zarah mau menikah dengan orang yang usianya
jauh di atas Zarah?” suara Zarah terdengar diantara tangisnya.
“Nak,
dia tidak terlalu tua, jarak usia kalian hanya sepuluh tahun, dia tiga puluh
tiga Zarah, besok lihat saja, ibu sudah tahu bagaimana wajah Pak Yusuf, ibu
tidak mau berkomentar, nanti dikira mau promosiin lagi, tanya coba sama Mbakmu
si Maryam bagaimana Pak Yusuf, teman satu kantor dengan suami mbakmu,” ujar
Zulaikha mencoba meluluhkan hati anak bungsunya.
***
Di
dalam kamar Zarah hanya bias menangis, ia masih ingin berkuliah lagi ke S-2,
tapi karena perjodohan ini ia jadi tak mampu mengatakan niatan hatinya pada
ayahnya, hingga ia tertidur dalam posisi memeluk guling.
***
Jam
tiga dini hari Zarah bangun dan melangkahkan kakinya menuju kamar mandi, mandi,
berwudu lalu melaksanakan qiyamul lail. Dalam doanya ia menangis, menangis pada
Allah, memohon jika ini memang yang terbaik bagi dirinya, maka lembutkan dan
luluhkan hatinya, mudahkan jalan menuju kea arah kebaikan. Sujud terakhir Zarah
menjadi agak lama, ia menangis di sajadahnya, memohon kemurahhatian Allah agar
ia diberi jalan mudah untuk memuntut ilmu, juga menuruti kemauan ayahnya, agar
menikah dengan pilihannya. Hanya lewat sujud di sajadahnya ia memohon takdir
terbaik dari Allah.
***
“Mengapa
suaramu sengau Zarah? Pasti kamu menangis, iya Kan?” Zulaikha bertanya pada
anaknya dan Zarah mengangguk.
“Apa
yang membuatmu sampai berat menerima perjodohan in, mbakmu, si Maryam, langsung
mau dan menerima Ismail dengan ikhlas, kau lihat sekarang kan? Mereka bahagia
dengan dua anak yang lucu,” ujar Zulaikha sambil menggoreng tahu tempe untuk
dinikmati dengan sambel bajak dan lalapan pagi ini. Terlihat Zarah yang mencuci
tomat, cabe, bawang merah dan bawang putih untuk dibuat sambel, bahunya naik
turun menahan tangis, namun air matanya mengalir juga
“Aku
ingin berkuliah lagi. Ibu, ingin melanjutkan ke S-2, aku ingin mengabdikan diri
lagi di pondok ibu, mengajar di sana setelah aku lulus S-2 nanti, kan jadi
terhenti karena pernikahan ini, pasti nanti gak boleh melanjutkan kuliah kalau
nikah” sahut Zarah kembali meneteskan air mata.
“Kau
jangan zu’udzon dulu, jalani sajalah dulu, kau kan belum tahu bagaimana Pak Yusuf,
bisa jadi dia malah mendukungmu untuk terus berkuliah,” ujar Zulaika mencoba
membujuk anaknya.
“Ibu
saja memanggil dia Pak Yusuf, lah aku manggil dia Mbah?” tanya Zarah dan
Zulaikha tertawa.
“Zaraaah,
Zarah, aku memanggilnya Pak Yusuf karena dia staf ayahmu dan aku tidak begitu
mengenal, nanti jika jadi suamimu ya ibu akan memanggilnya Yusuf, dulu pada
Ismail suami Maryam pun aku begitu, jangan berpikir yang tidak-tidak,
bersiaplah untuk nanti sore, bertemu dengan calon suamimu yang tampan dan in
shaa Allah sholeh,” goda Zulaikha pada anaknya dan Zarah cemberut.
“Ih
Ibu, belum-belum sudah promo, nggak tahulah, bismillahirohmanirrohim deh ibu,
pokoknya nanti Zarah mau ngajukan sarat itu ke dia,” ujar Zarah cemberut dan
Zulaikha kembali tertawa.
***
Sejak
setelah sholat asar Zarah terlihat mondar-mandir di dalam kamarnya. Ia segera
berganti baju yang layak dan pantas, terakhir ia pasang hijabnya, segera turun
dan kaget saat ada yang mengetuk pintu.
“Zaraaah
buka sayang pintunya, takut ada yang antar kue, tadi ibu pesan untuk ibu
suguhkan pada calonmu,” teriak Zulaikha dari arah dapur.
Zarah
segera melangkah menuju pintu, ia buka dan kaget menemukan laki-laki bertubuh
tinggi, tegap, berkulit putih, rambutnya tersisir rapi, ia terlihat gugup saat
melihat Zarah.
“Abang
mau antar kue ya?” tanya Zarah dan tamunya terlihat kaget.
“Assalamu’alaikum,”
sahutya dengan suara berat.
“Eh
iya wa alaikum salaam, kuenya mana Bang?” tanya Zarah lagi dan laki-laki di
depannya kembali terlihat bingung.
“Kue?
Saya kan masih mau taaruf, belum tahap melamar Dik Zarah?” tanya tamu di
depannya dan sukses membuat Zarah malu setengah mati.
“Maaf,
ini Mas Yusuf ya, mari silakan masuk, ibu tadi nyuruh saya ke luar, dikira ada
yang antar kue untuk suguhan Mas Yusuf,” sahut Zarah dengan polosnya dan Yusuf
sedikit menarik bibirnya. Dan Zarah terpana melihat senyum samar Yusuf. Astaghfirullaah, bisik hati Zarah.
“Waaah
Pak Yusuf, ya Allah, maaf Pak, mari, mari silakan duduk, loh Mas Daud mana? Kok
tidak bareng ke sininya?” tanya Zulaikha.
“Pak
Daud sebentar lagi Bu, tadi sepertinya semua manajer masih berada di ruangan
Pak Direktur,” ujar Yusuf.
“Oh,
iya mari silakan duduk, Zarah temani dulu ya Pak Yusuf, ibu mau mengambil
minuman, maaf kuenya masih nunggu ini Pak,” ujar Zulaikha sambil tersenyum.
“Tidak
usah repot Bu, seadanya saja, minuman saja cukup,” ujar Yusuf kembali tersenyum
dan Zarah berusaha tak melihat wajah Yusuf, ia lebih banyak menatap meja atau
tangannya sendiri.
“Dik
Zarah sudah selesai kan kuliahnya?” tanya Yusuf berbasa-basi. Zarah hanya
mengangguk.
“Jawab
dong Zarah, Pak Yusuf tanya itu?” tanya Zulaikha dan Zarah kembali mengangguk.
Zulaikha menyilakan Yusuf menikmati minuman yang disuguhkan.
“Baru
selesai, tapi Zarah ingin kuliah lagi,” sahut Zarah tiba-tiba dan Yusuf menatap
sekilas lalu menunduk lagi.
“Bagus,
Dik Zarah ingin kuliah lagi?” tanya Yusuf.
“Iya,
boleh kan saya kuliah lagi Mas? Nanti saya dijodohkan sama Mas, trus Mas Yusuf
melarang saya melanjutkan berkuliah lagi,” Zarah berbicara terus terang dan
Yusuf hanya tersenyum.
“Zaraaah,
kamu ini loh, Pak Yusuf belum bilang apa-apa,” ujar Zulaikha dan Yusuf
lagi-lagi tersenyum.
“Kan
Ayah sudah bilang Ibu,” ujar Zarah lagi.
“Maaf
Pak Yusuf jika Zarah terlalu berterus terang,” ujar Zulaikha.
“Tidak
apa-apa Bu,” sahut Yusuf, bersamaan dengan datangnya Daud, Yusuf berdiri,
bersalaman pada manajernya. Lalu Daud duduk didekat Zarah, Tak lama datang
pesanan kue, dan Zulaikha menyuguhkan pada Yusuf, juga suaminya.
“Ayah,
Zarah sudah bilang pada Mas Yusuf, bahwa Zarah mau melanjutkan kuliah ke S-2,
dan bagus kata Mas Yusuf, tidak apa-apa dah Yah, bismillah semoga Zarah sama
Mas Yusuf benar-benar jodoh,” ujar Zarah dan kedua orang tuanya kaget.
“Zaraah,”
kata Zulaikha.
“Iya
Bapak Daud beserta Ibu, maksud kedatangan saya mungkin tidak perlu saya
ungkapkan lagi, saya memang berniat menjalin hubungan serius dengan Dik Zarah,
jika Dik Zarah berkenan dan Bapak berserta Ibu juga merestui,” ujar Yusuf,
“Mohon
maaf jika Zarah terlalu berterus terang Pak Yusuf, itu pun jika Pak yusuf tidak
berkeberatan dia melanjutkan Pendidikan ke S-2, karena setelah menikah nanti
kan dia harus benar-benar total sebagai ibu rumah tangga,” Ujar daud.
“Tak
masalah bagi saya istri bekerja Pak, asal dia dapat membagi waktu, antara
pekerjaannya dan tugasnya sebagai istri, almarhum istri saya juga bekerja dulu
Pak,” ujar Yusuf.
“Alhamdulillah
jika Pak Yusuf bisa memahami keinginan Zarah,” sahut Daud dan Zarah terlihat
lega, meski sebenarnya dalam hatinya ia masih ragu, apakah ia mampu menjalankan
kewajibannya sebagai istri setelah menikah nanti.
“Baiklah
Pak, kalau begitu seminggu lagi, saya akan datang bersama Bapak dan Ibu saya,
untuk melamar Dik Zarah, dan jika Bapak Ibu Daud tidak keberatan, dua atau tiga
bulan lagi saya ingin mempersunting Dik Zarah,” ujar Yusuf dan wajah Zarah
terlihat kaget.
“Kok
secepat itu Mas?” tanya Zarah.
“Zaraaah,
akan lebih baik begitu, apa yang masih harus ditunggu? Kalian bisa belajar
lebih dekat saat setelah menjadi pasangan suami istri, itu jauh lebih baik,”
ujar Daud.
“Kalau
Dik Zarah merasa tak nyaman biar saya tunggu Pak Daud,” terlihat wajah Yusuf
yang serba salah.
“Tidaaak,
tidak apa-apa, kita lanjutkan sesuai dengan keinginan Pak Yusuf, kita bicarakan
lebih intens saat orang tua Pak Yusuf ke sini minggu depan,” ujar Daud.
***
Rencana
pernikahan Zarah berjalan lancar, semua persiapan mulai dimatangkan, namun
entah mengapa semakin mendekati hari H, justru Zarah semakin ragu, terakhir
yusuf berkunjung, Zarah juga mulai tahu, Yusuf sangat irit bicara,terlalu
pendiam, jika ditinggal berdua oleh orang tuanya, mereka hanya menunduk,
berbicara satu dua kalimat.
“Ibu,
Zarah kok jadi ragu ya, mau melanjutkan hubungan sama Mas Yusuf,” ujar Zarah
pelan saat makan malam berdua dengan ibunya, Daud belum datang karena masih ada
pekerjaan di kantor.
“Kenapa?
Pernikahanmu loh tinggal dua bulan lagi,” ujar Zulaikha.
“Dia
terlalu pendiam ibu, Zarah males ntar nikah sama tembok,” ujar Zarah cemberut.
Zulaikha
tertawa, ia segera mengakhiri makan malamnya dan menatap wajah anak bungsunya,
yang masih saja lugu.
“Apanya
yang tembok Zaraaah,” tanya Zulaikha.
“Lah
dia diem aja Ibu, ngomong sih tapi kebanyakan diemmnya dia, ekspresi datar, lah
kan kayak muka tembok, dataaar gitu,” ujar Zarah dan Zulaikha kembali tertawa.
“Ya
Allah Zarah, muka tembok itu ungkapan yang artinya tak tahu malu, anak ini ya,”
Zulaikha kembali tertawa dan Zarah semakin cemberut sambil membawa piring kotor
ke dapur.
***
Dan
tibalah hari yang diharap akan membawa kebahagiaan itu.meski Zarah ragu, tapi
ia tak mungkin bisa mundur lagi.
“Saya terima nikah dan
kawinnya Zarah Hasanah Miladitya bin Muhammad Daud dengan mas kawin seperangkat
alat sholat dan Al Qur’an dibayar tunai,”
Suara
Yusuf terdengar lancar saat mengucapkan ijab qobul, setelah semua saksi
mengucap kata sah maka lantunan doa
dipanjatkan.
Yusuf
tampak menatap Zarah sekilas saat keduanya dipertemukan dan saling memasang
cincin kawin lalu menandatangani surat nikah. Zarah pun terlihat malu-malu,
lebih banyak menunduk.
Saat
acara foto bersama keluarga pun keduanya tampak masih canggung, hingga Zulaikha
harus mengatur posisi anaknya agar lebih dekat pada suaminya.
***
“Malam
ini kalian menginap dulu di sini di kamar Zarah, besok Zarah sudah harus ikut
dan tinggal Bersama Yusuf,” ujar Daud dan Zulaikha mengiyakan.
“Sana
Zarah, antarkan suamimu ke kamar,” ujar Zulaikha.
Keduanya
berjalan beriringan, masuk ke kamar dan Zarah menutup pintu kamar. Zarah
menatap suaminya yang juga menatapnya.
“Mas
mau ke kamar mandi duluan? Ini sarung baru, aku beli buat mas, mas ganti baju
aja dulu,” ujar Zarah.
“Ya,
aku ganti baju di kamar mandi saja,” Yusuf mengambil kaos dan celana pendek
dalam tas kecil yang dibawakan oleh orang tuanya tadi. Saat Yusuf berada di
kamar mandi Zarah segera berganti baju, dan mulai membersihkan makeup di
wajahnya.
Pintu
kamar mandi terbuka dan Yusuf ke luar melangkahkan kakinya, kembali keduanya
tertegun, Yusuf baru pertama kali melihat Zarah tanpa hijab, rambut panjangnya
tergerai sepunggung, dengan kulit putih bersih hingga wajah belianya semakin
membuat Yusuf canggung untuk berlama-lama menatap istrinya.
“Gantian
Mas, aku ke kamar mandi dulu ya?” ujar Zarah dan Yusuf hanya mampu mengangguk
dan memegang dadanya saat Zarah menghilang di balik pintu kamar mandi.
***
Zarah
tidur memunggungi Yusuf, Yusuf membiarkan saja karena ia tak ingin Zarah
menjadi tidak nyaman, jadi ia biarkan saja hingga akhirnya ia tertidur. Saat
napas yusuf terdengar teratur, Zarah berbalik dan menatap wajah tampan yang tidur
terlelap. Sedikit banyak Zarah kecewa karena Yusuf tak berusaha agar ia
berbalik, atau paling tidak mesra di malam pertama mereka.
***
Zarah
menggeliat dan bergerak bangun saat samar-samar mendengar lantunan ayat suci
yang saat ia menoleh telah menemukan suaminya yang bersila dan melantunkan ayat
suci Al Qur’an. Perlahan Zarah bangun dan bergerak menuju kamar mandi, berwudu
dan melakukan qiyamul lail.
Zarah
bergerak menuju ranjang dan melihat Yusuf yang menatapnya, Zarah melihat
sekilas suaminya dan merebahkan badannya lagi lalu meringkuk membelakangi
suaminya.
“Dik
Zarah, Dik Zarah marah?” tanya Yusuf dengan canggung.
“Marah
apa? Kenapa harus marah? Ada apa Mas bertanya begitu?” tanya Zarah.
Perlahan
Yusuf menarik bahu Zarah hingga menghadapnya. Ia menemukan kilatan air mata di
mata istrinya. Perlahan dengan gerakan ragu ia mengusap pipi istrinya.
“Aku
tak bisa romantis Dik, dengan almarhum istriku pun aku, aku juga begini dan
kamu tak lama saling kenal, kamu dijodohkan, menikah, tak lama dia hamil dan saat
melahirkan Allah mengambil dia dan bayi kami, jadi maaf jika aku tak pandai
menyenangkanmu,” ujar Yusuf dengan suara pelan.
“Gak
papa,” ujar Zarah singkat.
***
Satu
minggu berlalu …
Zarah
telah tinggal bersama Yusuf di rumah sederhana nan mungil. Selama seminggu pula
Zarah menjalankan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Memasak, mencuci baju,
menyetrika sampai membersihkan rumah ia lakukan sendiri
Yang
membuat Yusuf bingung Zarah selalu terlihat sedih, jika ditanya selalu menjawab
tidak apa-apa. Ini yang membingungkan Yusuf.
Hingga
suatu malam saat mereka akan tidur, tiba-tiba Zarah berkata pelan sambil
memunggungi suaminya seperti biasa.
“Mas,
kayaknya kita tidak cocok jadi suami istri, bisa nggak besok pulangkan aku ke
ayah dan ibu, selama di sini, Mas kayaknya asik dengan dunia Mas sendiri, Mas
sering lebih asik di kamar sebelah, di kamar kerja Mas, aku jadi sering sendiri
dan kesepian.”
Air
mata Zaraf mengalir dengan deras. Yusuf menarik bahu Zarah perlahan, hingga
berhadapan, ia pandangi wajah istrinya.
“Boleh
aku memeluk, Dik Zarah?” tanya Yusuf Ragu. Dan Zarah mengangguk. Yusuh memeluk
istrinya dengan erat. Ia usap rambut lebat Zarah.
“Boleh
aku mencium kenig Dik Zarah?” tanya Yusuf lagi. Dan lagi-lagi Zarah mengangguk
sambil mengangguk.
“Aku
istrimu, Mas, boleh melakukan apapun yang Mas mau,” suara tangisan Zarah
semakin jadi.
“Aku
takut Dik, aku takut, kau tak mau, selama seminggu di sini, kau selalu
memunggungi aku jika tidur, aku pikir justru kau yang tak ingin melihat
wajahku, aku alihkan keinginanku untuk memeluk dan menciumimu dengan bekerja di
kamar sebelah, aku tidak mau berbuat dzolim pada istriku, makanya aku biarkan
kau sendirian di kamar, meski sebenarnya aku ingin memelukmu seperti ini,” ujar
Yusuf sambil sesekali menciumi ujung kepala istrinya.
“Mulai
malam ini kita bicarakan semua yang kita inginkan Mas, agar kita tak
menebak-nebak sendiri dan akhirnya saling menyakiti, tapi Mas memang cuek sih,
sejak kita taaruf, Mas diem saja, dan keterusan setelah jadi suami istri,” ujar
Zarah mulai protes dan Yusuf tersenyum mendengar rengekan istrinya.
“Kau
tahu, saat taaruf kan kita harus tetap menjaga pandangan, makanya aku diam
saja, tapi setelah jadi suami istri begini aku ingin memelukmu Dik, ajari aku
jadi suami yang baik padamu, boleh Mas memeluk lebih erat lagi?” tanya Yusuf
dan Zarah mendongak menatap suaminya.
“Boleh
aku minta juga sama Mas?”
“Apa?”
tanya Yusuf yang semakin gemas karena istrinya yang terdengar merengek.
“Boleh
cium pipi Mas?” wajah Zarah memerah menahan malu.
“Boleh,”
sahut Yusuf. Ia mendekatkan wajahnya dan Zarah mencium pipi suaminya sekilas,
pipi Zarah memerah karena malu.
“Dan
boleh Mas lebih dari sekadar mencium?” tanya Yusuf dan Zarah mengangguk, namun
Zarah menarik-narik kaos yang Yusuf pakai,
“Ada
apa?” tanya Yusuf.
“Gimana
Mas janji? Katanya aku boleh kuliah lagi,” tanya Zarah dan Yusuf tersenyum
lebih lebar.
“Pasti
boleh,asal satu, aku juga boleh mita hakku sebagai suami malam ini, boleh kan?” tanya Yusuf dan Zarah
menyurukkan kepalanya ke dada yusuf karena malu.
“Baiklah
istriku, mulai malam ini kita harus belajar banyak, bahwa kita harus selalu
terbuka, berbicara dari hati ke hati karena kita telah sah sebagai suami istri,
maafkan aku yang sempat melalaikan tugasku karena selalu merasa takut dan malu,
tapi percayalah Zarah, aku akan selalu berusaha menjadi imam yang baik untukmu,
meski tak sempurna setidaknya aku akan selalu menjaga keluarga kita agar
terhindar dari siksa api neraka.”
Keduanya berpelukan
meyakinkan diri bahwa takdir cinta mereka memang harus demikian jalannya, meski
masih terasa canggung, tapi usaha keduanya untuk saling melengkapi, setidaknya
telah menjadi bekal awal agar keluarga mereka nantinya menjadi keluarga
sakinah, mawaddah wa rahmah.
Komentar
Posting Komentar