RENJANA SAUJANA SAVANA
Mengapa kau hadir lagi setelah
menyisakan luka dalam, mengapa kau muncul saat semuanya baik-baik saja,
pergilah sejauh mungkin ke arah cakrawala … saujana.
***
“Ibu
Sava, sebentar lagi akan dimulai acaranya,” ujar Asti sektretarisnya.
“Ah
ya, Pak Danu sudah datang juga, Asti?” tanya Savana sambil berdiri meraih
tasnya.
“Iya
Ibu, beliau ada di ruangannya dan penggantinya pun hadir di ruangan beliau,
sebentar lagi akan menuju hall untuk serah terima jabatan,” Asti terlihat
menunggu Savana dengan sabar.
“Mengapa
sampai besar-besaran seperti ini ya, Asti?” tanya Sava lagi.
“Kabar
yang saya dengar keponakan Pak Danu yang akan menggantikan Pak Danu, memang sejak
awal kasak-kusuk yang saya dengar beliau ini yang akan mewarisi seluruh
kekayaan Pak Danu, ah mungkin karena Pak Danu tidak memiliki anak, dan orang
tua pak siapa dah ya namanya hhahah maaf Bu Sava saya lupa,” ujar Asti.
“Ayo,
Asti kita ke hall,”
Savana
dan Asti berjalan beriringan.
Savana
masuk ke hall tempat serah terima jabatan. Dalam pikiran Savana, ia bertanya-tanya
siapa pengganti Pak Danu? Karena Pak Danu memutuskan beristirahat setelah
operasi pemasangan ring di jantungnya dan keponakannya yang entah siapa dia
yang akan menggatikan seluruh tanggung jawab Pak Danu. Saat Savana masuk ke
hall semua mata tertuju pada Savana, wakil direktur cantik yang tetap melajang
di usianya yang ketiga puluh.
Savana
duduk diantara para petinggi perusahaan, ia sempat bersalaman dan duduk dengan
tenang menungggu Pak Danu dan penggantinya masuk.
Sepuluh
menit kemudian nampak dari jauh Pak Danu dan laki-laki tegap berjalan
beriringan, entah mengapa Savana merasa tidak asing dengan orang itu meski ia
belum jelas benar.
Saat
semakin dekat, badan Savana terasa bergetar hebat, dia, laki-laki itu,
laki-laki yang telah membuat Savana meninggalkan Indonesia dan menghabiskan
waktunya selama lima tahun di Singapura, membalut sakit hatinya dengan gila
kerja hingga meraih jabatan seperti sekarang dan baru satu tahun ia dipindahkan
dari kantornya di Singapura untuk menduduki jabatan sebagai wakil direktur di
kantor pusat yang ada di Indonesia, kini harus bertemu dengan laki-laki yang
ingin ia singkirkan dari mimpi buruknya. Laki-laki yang telah membuangnya,
menuduhnya dengan cara keji tanpa mendengar alasan darinya. Menuduhnya membagi
hati tanpa tahu ada apa dibalik peristiwa yang menghebohkan itu.
Sejak
awal masuk dalam keluarga kaya laki-laki itu, ia tahu jika ia tak dikehendaki
maka saat ada peristiwa itu seolah membenarkan keyakinannya jika sejak awal
dirinya memang tak pantas masuk ke keluarga itu.
Savana
bersyukur laki-laki itu tak melihatnya, ia memilih mundur dan duduk di kursi
yang berada di pojok.
Air
matanya tiba-tiba memenuhi matanya, mengingat kembali penderitaannya, Savana
merasa beruntung memiliki teman semasa kuliah dulu yang bekerja di Singapura
dan menawarinya pekerjaan, memberinya tumpangan hinga ia mampu berdiri sendiri,
meraih posisi seperti sekarang, semua berkat ketekunan dan keberuntungannya
memiliki atasan seperti Pak Danu.
Atasannya
saat ia di Singapura yang melihat potensi besarnya hingga ia bisa seperti
sekarang, Savana juga heran mengapa ia baru tahu jika laki-laki itu adalah
keponakan Pak Danu, apa karena pernikahannya yang disembunyikan oleh keluarga
laki-laki itu yang merasa dirinya tak pantas diperkenalkan atau karena memang
sebagian orang kaya jarang berhubungan dengan keluarga besarnya.
****
Savana
segera berlalu dari hall begitu acara selesai dan melangkah menuju ruangannya,
ia duduk dan memejamkan mata membayangkan hari-hari lelahnya ke depan bertemu
dengan orang yang telah mengambil semangat hidupnya dan menyakiti perasaannya
dengan rasa sakit tak terperi.
****
Pintu
ruang kerjanya di ketuk, dan nampak wajah Asti sekretarisnya.
“Ada
apa Asti?” tanya Savana dengan wajah lelah.
“Pak
Danu mencari Ibu sejak tadi, sekarang Ibu ditunggu beliau di ruangannya,” ujar
Asti sambil tersenyum.
“Apakah
beliau sendiri, Asti, di ruangannya?” tanya Savana dengan wajah kawatir.
“Ia
Ibu, direktur yang baru sepertinya masih sibuk melayani wawancara dari beberapa
televisi swasta, eh Ibu tahu nggak direktur yang baru, ganteeeeng banget,” ujar
Asti sambil memejamkan matanya.
“Oh
ya?” ujar Savana meraih ponselnya dan melangkah menuju pintu pintu.
“Ih
Ibu nanti kalau bertemu pastiii kayak saya tadi tak lepas memandangnya,"
ujar Asti tanpa henti berdecak kagum.
****
Savana
mengetuk pintu dan terdengar suara Pak Danu Surya Brata dari dalam, Savana
membuka pintu dan menunduk menatap sepatunya, lalu menutup pintu dan berbalik …
Deg!
Savana
merasakan jantungnya berhenti dan sesak seketika, ia melihat laki-laki itupun
kaget menatapnya dengan pandangan sulit diartikan.
“Savana....sini
mendekatlah, maafkan aku jika di dalam ruangan seperti ini aku hanya memanggil
namamu tanpa embel-embel ibu, ini perkenalkan keponakanku Ken, Keynara
Awalokita Suya Brata, yang akan menggantikaku, aku yakin ditangan orang-orang
cerdas seperti kalian, perusahaan ini akan semakin maju, dan ini Savana, Ken,
dia dulu bekerja padaku di Singapura, ah wanita hebat merintis dari bawah dan aku
juga yang merekomendasikan promosinya untuk pindah ke Indonesia, hei! Kalian
ayolah bersalaman, maklum yaaa sama-sama single jadinya kaku,” Pak Danu duduk
dan Savana serta Ken juga duduk tanpa bersalaman.
“Ah
ya silakan kalian ngonrol agar lebih akrab dan mengenal satu sama lain, aku
pamit Savana, Ken, rasanya lega meneruskan perusahaan keluarga dan meninggalkan
perusahaan ini dalam kondisi yang lebih baik dari pendahulu kita, dan kau,
Savana sering-seringlah ke rumah, istriku akan selalu merindukanmu dan Denaya,”
Pak Danu pamit memeluk Ken lalu memegang bahu Savana.
“Salam
pada ibumu, jangan tinggalkan dia lagi, hadapi hidup Savana jangan melarikan
diri, aku yakin jika suatu saat kau bertemu dengan laki-laki yang telah
mencampakkanmu kau bisa membuatnya berdecak kagum dengan pencapaianmu, dan
ingat carikan papa untuk Denaya,” suara Pak Danu berbisik saat kalimat terakhir
di telinga Savana.
Savana
tersenyum dan mengangguk.
“Terim
kasih Pak, saya pasti menemui ibu,” ujar Savana.
“Ah
ya aku lupa, anak ini keponakanku, Sava, tapi entah mengapa ia melarikan diri
ke Amerika selama bertahun-tahun dan baru mau sekarang diajak pulang ke negara
ini, ok, aku pamit dulu,” Pak Danu melangkah ke pintu dan membukanya, diantar
oleh Savana dan Ken, di depan pintu sudah menungggu sopir yang setia menemani
Pak Danu selama puluhan tahun.
Saat
Pak Danu menghilang dari pandangan mata, Savana hendak ke luar dari ruangan itu
namun lengannya ditahan oleh tangan Ken. Menariknya dan menutup kembali pintu
itu.
Mereka
berhadapan sangat dekat, Savana merasakan embusan napas laki-laki yang pernah
memberinya cinta yang sangat besar, pernah mencium, memeluk dan merasakan
nikmatnya berbagi peluh, penuh perjuangan di awal namun saat mengingat kembali
rasa sakit hati karena akhirnya Ken, suaminya saat itu termakan hasutan mamanya,
mantan ibu mertua Savana, jadi percaya bahwa ia berbagi hati dengan Reyhan,
sepupu Ken yang sudah mengenal Savana sejak lama. Kenyataan semakin
menyudutkannya karena Ken memang menemukan mereka beraua di kamar, saat Savana
yang hampir pingsan karena kelelahan dibawa Rey ke dalam kamarnya, kenyataan
yang membutakan mata Ken, mengusir Savana bagaikan binatang, tanpa memberinya
kesempatan berbicara, lalu semua menyudutkannya, menghakiminya dan membuangnya.
Kini
laki-laki itu berdiri di depannya, ia mengeraskan hatinya bahwa mereka sudah
tidak ada apa-apa.
“Kita
diskusikan besok Pak, jika ada hal penting,” Savana menggeser badannya dan
meraih gagang pintu. Sekali lagi Ken menahan tangan Savana.
“Maafkan
aku Savana, aku tahu semuanya setelah kau pergi, semua pembantu memberikan
kesaksian setelah kau pergi, aku mencarimu, aku putus asa, apalagi saat Rey
mengatakan kau sedang hamil, lalu di mana dia? Di mana anakku? Mengapa kau tak
memberitahuku?” wajah Ken terlihat putus asa.
“Maaf
saya mau ke luar Pak, sudah tak ada hubungan diantara kita,” Savana menunduk
menatap sepatunya.
“Tidak
aku tak pernah menceraikanmu aku …,” belum selesai Ken berbicara, Savana
manatap tajam wajah Ken.
“Selesai
sudah cerita kita, kau tak memberiku kesempatan, kau lebih percaya mamamu, kau
sudah membuangku, kita sudah bercerai secara agama, kita tinggal mengurus
perceraian secara negara, silakan menikah dengan pilihan mamamu dan asal kau
tahu, kau tak punya anak, kalaupun sekarang ada, ia adalah anakku, yang aku
besarkan dengan keringat dan air mataku,” Savana mendorong kasar badan Ken dan
membuka pintu lalu menutupnya dengan keras, berjalan tergesa menuju ruangannya.
Asti
menatap wajah penuh air mata Savana yang ke luar dari ruangan direktur baru
itu, beribu tanya ada dalam benak Asti, bukankah mereka baru mengenal, mengapa
wajah atasannya terlihat gusar?
****
“Dena,
nanti mama antar ke sekolah ya tapi pulangnya sama Mang Jaja,” ujar Savana.
“Nggak
mau, nanti Mang Jaja yang jelek dikira papa Dena, sama teman-teman,” Dena
merajuk dan memberengut.
“Hei,
tumben Dena cantik bilang gitu?” Savana memeluk anaknya sambil berjongkok.
“Iya,
kemarin teman-teman Dena dijemput mama papanya eh Dena dijemput Mang Jaja dan
kata teman-teman iiih papanya Dena jelek aaa… pokoknya Dena nggak mau,” ujar
Dena mulai menangis.
Savana
mengembuskan nafas, ia mengelus kepala anaknya.
****
“Bu
Sava, dipanggil Pak Keynara di ruangannya,” ujar Asti dan Savana melangkah
menuju ruanngan meski enggan, tapi ia harus profesional.
Savana
membuka pintu dan melihat Ken yang duduk di singgasananya, menangkupkan kedua
tangannya di depan bibirnya.
“Ada
apa Bapak memanggil saya?” Savana masih berdiri.
“Duduklah,
bisa kau jelaskan ini?” Ken memberika sebuah dokumen.
Savana
membuka dan mengangguk.
“Ke
sofa sana saja Pak, biar saya bisa leluasa menjelaskan,” akhirnya mereka
duduk bersisian dan Savana mulai
menjelaskan, sepanjang Savana berbicara Ken memadang wanita yang masih sangat
ia cintai, bibir, hidung, pipi dan semua yang ada padanya.
“Bapak
serius apa tidak sih? Saya capek dari tadi menjelaskan, saya akan ke luar jika Bapak
punya maksud lain,” Savana hendak berdiri dan Ken menarik tangannya untuk duduk
kembali.
“Aku
mengerti, sudah mengerti apa yang kau jelaskan,” jawab Ken.
“Baiklah
saya ke luar Pak,” Savana kembali merasakan tangannya ditahan oleh Ken.
“Bagaimana
aku meyakinkamu jika aku kehilangamu Sava, kau bisa bertanya pada Rey, hanya
dia orang yang kamu percaya kan?” Ken merasakan penolakan dari tangan Sava.
“Jika
kau percaya aku, jika saja kau tak termakan hasutan siapapun, tidak akan
sesakit ini aku menjalani hidup, ternyata kau benar-benar tak mengenal aku,”
Savana melangkah menuju pintu.
“Lalu
jika kau jadi aku, bagaimana perasaanmu, jika di kamar yang harusnya hanya kita
berdua yang boleh masuk tiba-tiba menemukan kau dan Rey dalam posisi Rey
menunduk, seperti hendak memangsamu, kau yang tergolek lemas dan Rey yang hanya
menggunakan celana pendek tanpa baju,” belum selesai Ken berbicara Savana
berdiri.
“Kau
benar-benar tak mengenalku Ken, jika di dalam kamar kau menemukanku memeluk Rey
dengan mesra atau kami saling memagut masuk akal kau marah padaku, kau
menemukanku lemas harusnya bertanya mengapa aku seperti itu? Aku berjuang untuk
benih yang kau tanam, selamat siang, hiduplah dalam duniamu!” Savana melangkah
ke luar dari ruangan Ken.
****
Savana
menangis lama di ruangannya hingga ia sadar jika ia akan menjemput Denaya, ia
pamit pada Asti dan menuju mobil. Saat melajukan mobilnya ia mendapat telepon
dari wali kelas Denaya jika Denaya terjatuh dan saat ini berada di rumah sakit,
dengan dada berdegup Savana menuju rumah sakit.
Setengah
berlari ia menuju ruangan Denaya dan menemukan wali kelas anaknya yang meminta
maaf berulang, Sava tidak menyalahkan siapapun, ini sudah takdir yang tak
mungkin ia sesali.
Savana
menelepon Asti memberitahu jika ia tak bisa kembali ke kantor karena Denaya
yang mengalami cidera agak berat, kepala Denaya yang terantuk batu akibat jatuh
hingga darah masih saja mengucur deras. Dokter segera melakukan penangan agar
menghentikan perdarahan, namun Savana diminta menyiapkan jenis golongan darah
AB yang kebetulan stok di rumah sakit habis, Savana bingung karena golongan
darahnya yang tak sama dengan anaknya
Savana
yang bingung dan panik merasakan bahunya ada yang memeluk, ia menoleh dan
mendapati wajah cemas Ken.
“Ada apa dengan anak kita Sava? kau jangan
membuatku takut.”
“Denaya
butuh darah AB, sedang golongan darahku B, aku...,” Savana kembali gugup dan
bingung.
“Antarkan
aku ke ruang transfusi, golongan darahku AB, ayo,” Ken menarik tangan Savana.
****
Savana
dan Ken menatap Denaya yang kepalanya terbebat dan tidur dengan nyenyak, Ken
menatap gadis kecilnya, seolah ia bercermin dan mendapati wajah Denaya yang
lebih mirip dirinya.
“Maafkan
aku Sava, aku menyia-nyiakan kalian berdua, asal kau tahu, akupun tak ada
keinginan mengenal siapapun setelah kau pergi, tak ada yang bisa membuatku
berkeinginan untuk memeluk dan mencium seperti ini,” Ken mengusap bahu Savana,
mengelus lembut rambutnya dan menciumnya dengan lembut, Savana diam saja.dalam
hati Sava pun mengakui jika dirinya tak mampu menyukai laki-laki lain selain
Ken, Keynara yang mengenalkannya pada kelembutan dan keliaran sekaligus, selama
bertahun-tahun ia hanya merasakan
renjana itu hanya muncul saat ia bersama Ken. Saat mereka berjauhan renjana itu
hanya bersifat saujana, mencumbu bayang sendu lewat rindu yang menggebu.
“Jika
kau tak memaafkanku, biarkan aku dekat dengan Denaya, ia anakku, darah dagingku.”
Ken
merasakan tak ada penolakan saat ia merengkuh bahu Savana, namun saat ia
semakin mengeratkan rengkuhannya, Savana merenggangkan duduknya, menatap wajah
Ken.
“Apakah
selama lima tahun jauh dariku, kau tak pernah merasakan rindu padaku dan pada
anakmu, aku tak yakin kau benar-benar sendiri, benar-benar mengingat kami?”
tiba-tiba Savana mengajukan pertanyaan sulit.
“Dengan
apa aku meyakinkanmu Sava, kau bisa bertanya pada Om Danu, aku tak pernah
menikah lagi, jika kau bertanya apakah aku pernah dekat dengan wanita lain,
jawabnya iya, aku memang pernah mencoba tapi gagal, aku tak bisa dan tak
pernah bisa, rasa berdosaku padamu, pada bayi yang tengah kau kandung membuatku
tak bisa normal sebagai laki-laki, aku hanya mampu mencumbui bayangmu Savana,” Ken kembali merengkuh bahu Savana
saat terdengar erangan Denaya.
“Mama!”
Savana
dan Ken berdiri, segera mendekati Denaya yang mulai membuka matanya. Mata
Savana berkaca-kaca. Ken memegang tangan Denaya dan menatap wajahnya dari jarak
dekat.
“Maafkan
papa yang terlambat hadir, maafkan papa,” suara Ken terbata-bata.
Mata
Denaya membulat meski terlihat lelah ia berusaha menatap wajah Ken.
“Om
siapa, mengapa bilang papa?” tanya Dena dengan suara pelan.
“Tidurlah,
istirahatlah Sayang,”ujar Ken lagi.
“Om
mau jadi papanya Dena, gantikan Mang Jaja?” suara pelan Dena tak ayal membuat
Sava yang hendak menangis jadi menahan tawa, sedang Ken terlihat bingung.
“Siapa
mang Jaja, memang papa kamu yang baru mang Jaja?” tanya Ken penasaran.
“Bukan,
dia sopir mama, om,dia yang sering jemput Dena dan Dena malu, mang Jaja dikira
papanya Dena,” kata-kata Dena membuat Ken tersenyum lebar.
“Yah,
Om, akan gantikan mang Jaja, Dena, mau?”
“Mau
Om, mau, beneran ya, Om?” pinta Dena dan mata Ken berkaca-kaca, menyesal telah
kehilangan masa indah bertahun-tahun dengan anaknya.
“Yah,
om akan menjadi papa Dena selamanya, Dena mau di peluk papa?” suara Ken
bergetar saat melihat mata Dena bersinar bahagia sambil mengangguk, ia ciumi
wajah anaknya, anak yang tak sempat ia temani awal masa kanak-kanaknya.
“Sava,
mendekatlah, meski kau belum menerima aku sepenuhnya, beri aku kesempatan
menebus semua salahku, padamu dan pada anak kita,” ujar Ken, menarik tangan
Savana.
🥺🥺🥺🥺🥺🥺keren bu...
BalasHapusKeren sekali ❤️
BalasHapus