Senyummu Meredup di Sudut Malioboro

 

Aku bergegas merapikan baju hangat yang akan aku bawa ke sebuah kota kenangan, kota yang akan selalu aku rindukan karena banyak menyimpan kenangan tentang kita, tentang rindu yang tak bertepi, asa, angkringan, kopi dan nasi kucing. Aku sesekali tersenyum saat memasukkan satu baju ganti, aku bawa baju kenangan kita, kemeja berwarna sama dengan blouse yang kamu kenakan waktu itu. Waktu dengan malu-malu kau memberikan baju itu padaku.

Satu jam kemudian aku telah berada di kereta api yang membawaku dari kotaku ke kotamu, butuh waktu sekitar empat jam dua puluh tiga menit untuk sampai, tak ada kata lelah karena aku laki-laki yang menyimpan rindu terlalu lama pada kenangan kita, laki-laki yang selalu menyimpan rindu yang menggelegak tapi selalu tak sempat untuk menyegerakan hadir di sisimu karena terkungkung waktu dan dikejar deadline kerja yang gila-gilaan. Dan tiga hari berturut-turut kamu mengirimkan pesan rindu yang mau tak mau harus aku wujudkan, agar kita bisa bertemu meski sesaat.

Selama dalam perjalanan aku berpikir tentang kita, pertemuan yang tak sengaja terjadi saat kamu masih mahasiswa baru yang penakut dan mudah menangis, sedangkan aku adalah kakak kelas yang mencoba tampil jumawa di depan adik kelas cantik sepertimu, menunjukkan kekuasaan sebagai kakak tingkat yang akhirnya aku harus mengakui jika aku harus mengaku kalah pada pesonamu. Kau terlalu manis untuk aku biarkan lewat begitu saja dalam hidupku.

"Aku mencintaimu."

Kalimat gombal yang aku ucapkan padamu mampu membuatmu takluk dalam satu pukulan telak dan kami langsung jadian setelahnya. Cinta kami benar-benar bersemi. Selanjutnya kami melalui hari-hari bersama di area sekitar kampus, perpustakaan, warung-warung makan sederhana agar dompetku aman-aman saja hingga akhir bulan dan tak meminta jatah lebih pada orang tuaku.

Hingga suatu ketika, kau mendatangi tempat kosku dengan wajah memerah menahan tangis mengatakan padaku bahwa ada masalah dengan hubungan kita. Sejak awal aku sadar jika aku kurang disukai oleh keluargamu yang masih berdarah biru sementara aku hanya rakyat biasa yang berdarah merah menyala. Aku ingat ucapan ayahmu bahwa jika kita menikahpun tak akan bisa mengubah aliran darah yang sudah terlanjur mengalir deras di dalam tubuh kita. Kesimpulannya aku tak akan pernah mendapatkan tempat di keluargamu dan aku harus tahu diri. Aku harus menjauh meski hati tetap ingin terikat dan rindu tetap meronta untuk bergayut manja di dinding hatimu.

Raden Ayu Mintarsih Sumoatmojo, nama indahmu selalu aku ingat dengan baik bahkan hingga saat ini, saat keadaanku dan keadaanmu tak sama seperti dulu. Ada sekat tebal yang tak akan bisa kita tembus dengan cara apapun karena kita sama-sama anak yang manis, yang tak tega melihat orang tua kita menderita dan meninggalkan dunia dengan cara sia-sia.

"Aku sampai kembali di kotamu, Dik Min."

Suaraku tiba-tiba saja serak, aku masih berdiri mematung menatap tiap sudut Jogjakarta dengan mata berkaca-kaca. Kususuri langkah demi langkah tak terhitung berapa ribu langkah, entah mengapa aku tak merasakan lelah mungkin karena aku ingin segera berjumpa denganmu dan dengan segala kenangan kita.

Dan bruk! Tas ransel yang aku bawa terjatuh, tersenggol tak sengaja oleh pasangan muda-mudi yang sedang lewat di dekatku. Aku tak marah karena aku tahu dan pernah merasakan bagaimana dunia seolah milik berdua saat kami sedang diamuk renjana cinta. Aku mendengar keduanya minta maaf, aku hanya tersenyum.

Lewat senja dan matahari semakin ditelan bumi saat aku semakin mendekati sudut Malioboro. Tiba-tiba saja hatiku berdetak keras saat melihat kelebat bayangmu, aku kejar, aku mempercepat langkah. Di sudut Malioboro kau berdiri mematung, menatapku dengan tatapan sunyi, dingin, tanpa senyum. Aku mendekat dan semakin mendekat, kau hanya mampu diam. Di tempat ini setahun lalu kita berpisah, karena kita sadar bahwa sekat kita terlalu kuat, dan di tempat ini pula aku melihat iring-iringan mobil jenazahmu menuju peristirahatan terakhir. Sehari menjelang pernikahanmu dengan laki-laki pilihan orang tuamu kau memilih pergi dengan cara tragis, mengiris nadimu di kamar yang sudah disiapkan sebagai kamar pengantin.

Aku lambaikan tangan, meski berat kita harus berpisah Dik, kau harus tenang di alam sana, meski senyummu meredup di sudut Malioboro, tak akan mampu menahan aku lebih lama karena dunia fana ini masih menjadi tempat bertahan hidup bagiku.

Sudah aku lunasi hutang rinduku padamu dengan kembali ke kota ini, meski tak akan menahanku lebih lama tapi setidaknya aku sudah memenuhi permintaanmu yang datang lewat mimpi. Sekali lagi kita saling tatap dan wajahmu semakin memudar tak jelas.

"Cinta kita akan tetap bersemi, Dik Min."

 

Komentar

Postingan Populer