Janji Rani

 

Sudah dua minggu lebih aku tinggal di rumah bude, sejak kecelakaan tunggal yang mengakibatkan papa dan mama meninggal, aku jadi sebatang kara. Aku mengalami luka-luka tapi tidak seserius papa dan mama yang duduk di bagian depan mobil dan mereka mengalami luka parah, dan sejak saat itu aku suka sekali duduk di dekat jendela di kamar yang aku tempati sekarang karena menghadap ke taman. Aku senang di sini karena di sini aku sering bicara pada jendela kamar, tentang rinduku pada papa dan mama, tentunya sambil menangis.

Aku bersyukur bude dan pakde baik hati, anak-anak bude dan pakde sudah berkeluarga semua hingga rumah megah ini hanya ada kami bertiga dan tiga orang pembantu yang ada di area belakang rumah.

Tok! Tok! Tok! Pintu terbuka dan bude masuk. Ia tersenyum dan duduk di kasur.

"Besok Rani mulai sekolah ya, sudah Bude siapakan semuanya."

Aku menggeleng pelan, bude berjalan pelan dan berdiri di dekatku. Mengusap rambutku.

"Kenapa? Kan nanti di sini banyak teman."

Aku menggeleng lagi.

"Rani malu." Aku menjawab dengan pelan.

"Masa sudah kelas 5 malu?"

"Kalo ditanya papanya kerja di mana aku mau bilang apa Bude?" Dan aku mulai menangis, Bude memelukku dengan erat.

"Nggak akan ada yang tanya kayak gitu, percaya deh sama Bude "

"Aku nggak mau sekolah Bude?"

"Loh trus gimana cita-citanya yang mau jadi dokter kalo nggak sekolah?"

"Aku nggak tahu Bude."

"Baik kalau begitu Bude antar dulu ke sekolah atau Bude tungguin."

Aku tak menyahut sampai bude akhirnya mengajak aku makan, terpaksa aku mau meski hanya makan sedikit.

Keesokan harinya pakde dan bude ke kamarku. Kembali membujukku agar mau bersekolah.

"Rani malu Bude, Rani nggak sama kayak yang lain." Aku mulai menangis dan bude memelukku.

"Apanya yang malu, Rani cantik, pandai, apanya yang nggak sama?"

"Rani nggak punya papa dan mama."

"Ada Bu De dan Pak De, paggil kami mama dan papa kalo Rani mau."

Aku menggeleng dan karena kasihan pada bude dan pakde akhirnya aku mau bersekolah.  Aku memakai seragamku, kembali aku berdiri di dekat jendela, berbicara lagi pada jendela temanku agar aku punya kekuatan untuk ke luar rumah dan bertemu banyak orang.

Aku diantar pakde dan bude ke sekolah yang tak begitu jauh dari rumah bude, sekitar 15 menit perjalanan dengan naik mobil. Sesampainya di sekolah yang dituju aku diantar ke ruang kepala sekolah, yang ternyata teman pakde, setelah berbicara agak lama, bapak kepala sekolah memanggil seorang guru dan aku diantar oleh Bu Lisa ke kelas. Aku sempat dag dig dug, takut aku tidak punya teman.

Saat masuk ke kelas semua mata tertuju padaku, Bu Lisa memperkenalkan aku dan aku ditunjukkan arah bangkuku yang duduk di tempat paling belakang, mungkin karena badanku yang tinggi besar, tapi di sampingku kosong tak ada tempat duduk. Teman-teman yang duduk di sekelilingku tersenyum padaku dan aku merasa lega karena aku diterima dengan baik.

Tak lama kemudian saat aku baru saja duduk, masuk anak seusia aku yang duduk di kursi roda, meminta maaf karena terlambat dan menjalankan kursi rodanya menuju ke arahku duduk, ia tersenyum ramah. Dan kami mengikuti pelajaran hingga terdengar bel istirahat pertama.

Teman-teman berhamburan ke luar aku mulai menyapa teman sebangkuku.

"Hai aku Rani."

Dia menoleh.

"Aku Cantika, kamu murid baru ya?"

Aku mengangguk, lalu aku tiba-tiba saja menangis, karena ingat papa dan mama.

"Kamu kok nangis? Apa aku ganggu kamu?" Cantika terlihat merasa bersalah.

"Nggak, aku ingat papa dan mama?"

"Loh, kamu di sini tinggal sama siapa? Ke mana papa mama kamu? Ke luar kota apa gimana?"

Aku masih menangis dan menjawab pelan.

"Aku tinggal sama bude dan pakde, mama papaku sudah meninggal karena kecelakaan, dan aku kayak sendiri, temanku hanya jendela tempat aku bercerita."

Cantika memegang tanganku. Ia menatapku.

"Aku juga sama kayak kamu, papa mama meninggal karena kecelakaan, ini aku sampe nggak bisa jalan karena kecelakaan itu, kamu masih bisa jalan kan? Harusnya kamu nggak sesedih itu."

Aku mengangguk pelan, aku merasa malu pada Cantika yang tetap terlihat kuat, aku harusnya bersyukur karena aku baik-baik saja meski papa dan mama tak ada di sampingku lagi.

"Kalo ada apa-apa cerita aja ke aku, masa ke jendela kan diam aja nggak bisa ngomong, kita bisa jadi sahabat yang saling berbagi."

Aku mengangguk dan berjanji pada diriku sendiri akan tegar seperti Cantika. Seharian kami bersama, ke kantin hingga saat jam pulang kami berdua duduk di depan kelas menunggu jemputan, kami banyak bercerita dan tertawa bersama.

"Mulai sekarang kita sahabatan ya Cantika, biar aku sekuat kamu."

Cantika memperlihatkan ibu jarinya dan selama di mobil aku bercerita pada bude tentang Cantika, bude mengusap kepalaku sambil tersenyum. Aku berjanji tidak akan merepotkan bude dan pakde lagi.

Komentar

Postingan Populer