Mirah Delima
“Kek rangkek kokoningan, nemmo
sello’ elang pole, ayo sareyagi, ayo sareyagi” (mari bersama-sama
bergandengan, menemukan cincin, tapi hilang lagi, ayo carikan, ayo carikan).
Lagu masa kecil itu sayup-sayup terdengar lagi entah dari mana, mungkin hanya
sekadar terbawa suasana atau memang ada yang menyanyikan, lagu yang sering kami
nyanyikan dulu bersama saat bermain di halaman rumah besar nan megah yang seolah-olah
kembali terngiang saat aku memandangi rumah Ririn temanku yang lebih mirip roma
kothong (rumah tak berpenghuni yang identik dengan kondisi angker, siapa
saja yang menunjuk rumah itu maka diharuskan memasukkan jari telunjuk ke dalam
mulut lalu masukkan ke pusar untuk menghilangkan sial).
Aku tatap lekat rumah besar yang kini
tidak tersisa sama sekali tanda-tanda bahwa rumah itu adalah rumah termegah di
kampungku saat itu, kini yang ada hanyalah rumah tak terawat, berdebu, bahkan
rumput yang ada di halaman itu hampir menyamai tinggi pagar yang ada di
depanku. Tergambar jelas di depanku halaman luas itu sering dijadikan tempat
bermain oleh anak-anak usia SD, siapapun, seberapa banyak mereka, Mbah Joyo,
kakek Ririn tidak pernah marah bahkan mbah yang ramah ini sering memberi kami
kudapan enak khas anak-anak zaman itu pisang rebus dan ketela pohon rebus, tiga
puluh tujuh tahun berlalu dan aku masih mengingatnya dengan baik, sejak
terakhir aku meninggalkan kota kelahiranku.
Tanganku hampir memegang pagar, saat
teriakan seorang ibu mengagetkanku. “Jangan masuk,” katanya bernada cemas, Aku
bertanya baik-baik, pindah kemana keluarga Mbah Joyo, termasuk Ririn teman
kecilku. Awalnya ibu itu enggan bercerita, setelah aku paksa, ia mulai
bercerita tapi seperti takut dan gugup, segala doa dia ucapkan sebelum mulai
bercerita. Namun sebelumnya aku dipersilakan masuk ke rumah Bu Ernawati atau Bu
Er, nama ibu itu yang rumahnya hanya berjarak sekitar tiga ratus meter dari
rumah Ririn.
Kejadian itu terjadi sekitar tiga puluh
lima tahun lalu, berarti tak lama setelah aku dan keluargaku meninggalkan
kotaku karena tugas bapak yang pindah tempat. Mbah Joyo tanpa sengaja menemukan
sebuah cincin saat ia menimba air di sumur dekat rumahnya. Dengan bangga Mbah
Joyo memamerkan temuannya kepada seluruh keluarga dan tetangga dekat. Cincin
bermata merah menyala, sangat gagah dipakai di jari tengah tangan kirinya, dan dari
cincin itulah awal mala petaka itu bermula, seminggu setelah penemuan cincin,
Mbah Joyo jadi berlagak kurang waras dan tiap malam selalu berteriak-teriak
kesetanan dan ketakutan, segala upaya dilakukan oleh keluarga, berobat ke
dokter, juga menemui orang pintar, tapi hasilnya nihil. Sampai akhirnya Mbah
Joyo ditemukan meninggal di dalam sumur dekat rumahnya itu.
Yang lebih aneh lagi seluruh keluarga
itu ditemukan meninggal dalam kondisi tidak wajar, selalu hanya berselang dua
bulan dan dalam keadaan menggenggam cincin mirah delima itu. Mbah Joyo, istri Mbah
Joyo, ibu, bapak dan adik Ririn. Aku hanya bisa menghela nafas panjang. Tidak
pernah terpikir olehku, akan terjadi hal mengerikan pada penghuni rumah megah
itu. Sebelum aku meninggalkan rumah Bu Er, aku sempat diberi alamat rumah bibi
Ririn, hanya Ririn yang sempat terselamatkan.
Malam hari saat makan malam aku ceritakan
semua yang aku alami tadi pada kakakku. Dia hanya tertegun lalu mulai
menceritakan apa yang ia tahu.
“Mungkin lebih baik kamu tak terlalu
mengusut cerita itu dari awal, kamu masuk apa tidak ke rumah tak berpenghuni
itu?’ Mbak Nik, satu-satunya kakak perempuanku, bertanya dengan tatapan
menyelidik. Aku hanya menggeleng dan ia terlihat lega.
“Aku bukannya percaya desas-desus orang
tapi beberapa orang yang mencoba menantang dan tak percaya lalu masuk ke rumah
itu maka ia akan mengalami nasib sama, seperti almarhum bapak kita.”
“Bapak?” aku menatap Mbak Nik tak
percaya.
“Ya, kamu masih berkuliah di kota lain
jadi tak tahu kengerian yang kami alami dan kami tak ingin memecah konsentrasi
belajarmu, bapak sejak dulu dilarang ibu ke rumah itu tapi sejak kami kembali
ke kota ini lagi seolah rasa penasaran bapak muncul lagi, dengan berdalih mau
kumpul ngopi dengan bapak-bapak ternyata menurut Om Kaslan, bapak masuk ke
rumah itu, dua atau tiga kali gitu, awalnya tidak ada apa-apa, bapak cerita ke
Om Kaslan jika omongan orang tak terbukti tapi setelah kali ke sekian kata Om
kaslan lagi bapak mulai menunjukkan gejala aneh nah ini yang kami rasakan, aku
dan ibu tahunya bapak selalu bermimpi buruk, bangun seolah ketakutan tapi tak
mau cerita pada ibu apa yang ia lihat dalam mimpi, lama-lama bapak seperti
orang yang kurang sehat rohani, sering bicara sendiri tentang tanah yang bukan
haknya, tentang cincin yang direbut, dan entah apa lagi, dan sejak itu pula ibu
merasakan hal aneh, seolah ada yang sering tiba-tiba berdiri di dekat ibu,
menganggu ibu juga, tak jelas siapa tapi yang pasti seolah ada orang yang minta
tolong pada ibu agar dikeluarkan jiwanya dari dalam cincin mirah delima.”
Aku mendengarkan dengan bingung, antara
percaya dan tidak percaya tapi Mbak Nik tak mungkin berbohong, kakak
satu-satunya yang sampai saat ini tak juga menikah di usianya yang semakin
senja, sama dengaku yang belum menemukan pendamping. Lalu Mbak Nik melanjutkan kisahnya.
“Seperti yang kamu tahu, bapak dan ibu
meninggal dalam waktu berdekatan kan, keduanya seolah sama-sama diganggu oleh
bayangan dan mimpi buruk yang sama, semakin kurus dan kurus, tak mau makan dan
selesai sudah, maaf jika aku tak bercerita detil padamu, jadi aku minta kamu
jangan ke sana, jangan seperti bapak yang sok tidak percaya, tinggal kita
berdua yang masih tersisa.” Aku hanya mengangguk pelan.
Keesokan harinya timbul keinginan untuk
mendatangi sahabat keciku Ririn, aku ingin mengetahui keadannya.
“Ada yang bisa saya bantu,” sapaan itu
mengagetkanku saat aku berdiri di sebuah rumah mungil bercat putih nan asri.
“Bisa bertemu Ririn, Bu, saya teman kecilnya.”
Ibu itu tidak menyahut hanya memberi kode agar masuk mengikutinya ke kamar belakang
yang berhadapan dengan taman. Di kamar itu aku hanya melihat sosok kurus dan
tatapan kosong melihat ke luar jendela, sambil bergumam tak jelas, wajahnya tak
berubah, ini Ririn, Ririn temanku. Aku teringat cerita Bu Er, bahwa cincin mirah
delimalah yang menjadi penyebab kisah tragis itu dan kini aku melihat ia
mempermainkan cincin itu ditangannya. Aku bergerak perlahanan mendekati Ririn.
Aku berusaha mengambilnya tapi Ririn dengan cepat menggenggamnya sangat erat
sembari bergumam bahwa dalam cincin itulah seluruh jiwa keluarganya berkumpul.
Aku dan bibi Ririn berusaha merebut cincin itu, terlihat kemarahan pada wajah bibi Ririn seolah aku lancang ikut
campur masalah keluarganya. Kami saling dorong sampai akhirnya tanganku mampu
merebutnya dan aku lempar cincin itu ke luar jendela lalu menggelinding entah
ke mana
. Seketika itu juga jeritan melengking
ke luar dari mulut Ririn, tatapan matanya mengerikan, melotot, lalu lemas dan
tak bernyawa, bibi Ririn menangis meraung, ia peluk keponakannya, satu-satunya
generasi anak kakaknya yang tersisa. Selesai sudah kegerian ini, tangisku pecah
melihat jasadnya yang seolah melihat kengerian tiada batas, aku usap
berkali-kali wajahnya namun matanya masih saja menatap kosong pada alam lain
yang tak mungkin aku jangkau. Damailah di sisi Tuhan temanku. Selesai sudah
cerita yang tak ada ujung ini karena siapapun yang menemukan cincin itu maka
kengerian akan terus berlanjut.
Sumenep, 3 Desember 2022
Komentar
Posting Komentar