Mati
Rasa
Aku pegang baju
seksi di tanganku dengan hati bergetar. Ini baju siapa? Aku menemukannya di
laci suamiku, di meja kerjanya saat aku bersih-bersih dan aku melihat hal yang
mencurigakan saat ada yang menyembul di celah-celah tumpukan buku yang lacinya
tidak tertutup dengan benar dan seketika air mataku mengalir.
Apa iya ada yang
salah dengan pernikahan kami yang sudah berjalan lima tahun ini? Mas Angga
laki-laki tampan dengan kulit bersih, bibir merah dan badan tegap. Usia Mas
Angga tiga puluh lima tahun, masih segar-segarnya sebagai laki-laki, meski
jujur aku katakan dia tidak begitu garang di kasur tapi cukup memuaskan aku,
paling tidak ada buah cinta kami, Agis yang kini berusia empat tahun sebagai
bukti bahwa hubungan kami baik-baik saja dan sehat-sehat saja. Kehidupan kami pun
cukup bahagia, rumah yang lumayan besar, mobil mewah ada dua unit, juga
fasilitas mewah lainnya karena Mas Angga adalah accounting manajer di
salah satu perusahaan terkenal di kota kami, salah satu kota besar di
Indonesia.
Sedang aku, tidak
terlalu cantik sih tapi aku punya tubuh yang menarik, yang selalu merawat
tubuhku demi Mas Angga terkasih. Meski aku hanya ibu rumah tangga tapi aku
punya kesibukan mengelola bisnis online dari rumah jadi aku punya penghasilan
lain untuk uang jajanku selain uang dari Mas Angga tentunya. Dan selama lima
tahun ini kami baik-baik saja, tak ada yang mengganggu kami, baik itu ibu
mertua, adik ipar apalagi wanita-wanita tak jelas, karena aku melihat Mas Angga
laki-laki yang tak mudah tersenyum pada wanita yang tak ia kenal.
Hanya satu yang
sering mengganjal hatiku, selalu aku yang memulai lebih dulu bahkan cenderung
aktif di ranjang, tapi tak masalah, yang penting kami sama-sama terpuaskan,
karena Mas Angga tak pernah menolak saat aku memulai, ia selalu iya iya saja.
Kembali aku menatap
baju berdada rendah, tanpa lengan dan rasanya akan jadi sepaha panjangnya jika
aku pakai. Terlihat mahal jika aku lihat dari bahannya. Aku hanya penasaran,
wanita seperti apa yang akan memakai baju ini? Di mana Mas Angga kenal
dengannya? Sudah sejak kapan? Tapi mengapa tidak ada tanda-tanda jika ia sudah
punya orang lain? Mas Angga tetap sayang, lembut dengan tatapan mata sayu. Aku
berusaha membesarkan hatiku dan akan menanyakan hal ini baik-baik pada Mas
Angga jika suasana di rumah terasa nyaman, aku tidak mau kalah pada wanita tak
jelas manapun, ini baru pertama kali dan harus segera dituntaskan, sebelum Mas
Angga betul-betul jatuh ke tangan pelakor.
.
.
.
Malam sudah sangat
larut saat Mas Angga datang dari kantor. Seperti biasa senyum lembut selalu
menghiasi bibirnya, memeluk aku sekilas dan mencium keningku, dulu aku selalu
terbuai tiap kali ia memperlakukanku bak ratu, siapa yang tak bangga, punya
suami ganteng, mapan, setia lagi tapi sejak aku temukan baju mewah seksi itu
yang ada kini hanya geraman hati yang ingin aku lontarkan dalam bentuk caci
maki.
"Ada apa Ma?
Mama kayak habis nangis?" Mas Angga mengusap pipiku pelan dan aku hanya
menggeleng sambil menghindar, membayangkan tangan itu juga mengusap tubuh
wanita lain. Ingin aku caci maki tapi entah mengapa mulutku kelu.
"Mama pasti
ingat almarhum mami lagi kan, kita ke makam beliau ya aku antar kalau Mama
mau."
Lagi-lagi aku
menggeleng dan menuju ruang makan, melihat makanan yang sudah disiapkan
pembantu. Mas Angga menatapku lalu menuju kamar saat aku tak merespon. Meski
telah larut malam biasanya Mas Angga selalu makan tiap kali datang dari kantor,
entahlah dia selalu terlihat makan dengan lahap.
Beberapa saat
kemudian dia ke luar kamar lalu menuju ruang kerjanya, aku biarkan saja dan
tetap menunggunya di ruang makan tanpa berkomentar, sementara anak semata
wayang kami, Agis sudah tidur sejak lepas magrib karena kurang enak badan.
"Mama pasti
cemburu karena baju wanita itu ya? Itu punya Agusta, sahabatku, Mama kan kenal,
dia titip aku untuk sementara karena pingin buat kejutan sama istrinya yang
bentar lagi ulang tahun, Mamaaa, Mama, kalo ada apa-apa ngomong, itu baju sampe
digeletakin di lantai, itu mahal dan bukan milikku, kalo nggak percaya besok
ikut aku ke ulang tahun istri Agusta, di cafe mahal dan terkenal."
Aku hanya bisa
bernapas lega, tapi aku tetap ingin membuktikan betul atau tidaknya jadi aku
akan ikut ke ulang tahun istri Agusta.
.
.
.
Malam sudah sangat
larut saat kami baru saja sampai dari ulang tahun istri Agusta. Dan ternyata memang
benar kata Mas Angga, Agusta memberi kotak besar dan kecil pada istrinya sesaat
setelah pemotongan kue ulang tahun, yang menurut Mas Angga kotak besar itu
berisi baju mewah yang aku temukan di laci ruang kerja Mas Angga, high heels,
jam tangan mewah serta sebentuk cincin berlian. Hanya saja aku tak benar-benar
melihat isinya, rasanya memang tak mungkin jika aku tiba-tiba saja membuka
kotak gift itu.
"Mas, Mas Angga
memang dekat dengan Agusta sudah kayak kakak adik tapi nggak usah juga
berpelukan kayak tadi, kayak nggak ketemu lima tahun aja." Gerutuku saat
kami telah tiba di rumah sepulang dari ulang tahun istri Agusta.
Mas Angga terkekeh,
ia merengkuh bahuku dan mencium keningku.
"Mama ini
yaaaa, wanita dicemburuin eh laki-laki juga trus aku harus gimana?"
"Pokoknya ya
biasa aja lah, Mas Agusta juga gitu pake acara nepuk-nepuk pipi Mas, kayak ke
anak kecil aja."
"Lah emang
kenyataannya aku lebih muda dari dia tapi kami bersahabat sejak lama."
"Iyaaa sih
sampe sering berlibur dan mancing entah ke mana berdua beberapa hari."
"Hahaha iya iya
kami memang punya hobi sama dan maaf jika kami hanya selalu berdua, namanya
mancing kalo rame ya nggak ada ikan yang datang, udah ah, kita ke kamar dulu,
ganti baju dan istirahat." Mas Angga mengecup pipiku sekilas, tapi entah
mengapa malam itu aku ingin yang lain, aku raih tengkuk Mas Angga dan aku ciumi
dia bagai orang kehausan dan berakhir di kamar dengan tubuh sama polos, saling
mengejar kepuasan, satu hal yang selalu sama, Mas Angga selalu saja memejamkan matanya
erat-erat saat kami bercinta, tak masalah bagiku toh dia tetap bisa
memuaskanku.
.
.
.
Deg!
Lagi-lagi baju
wanita, sekarang warna merah menyala, dengan belahan samping di blouse itu
hingga hampir ke pangkal paha.
Ini tidak beres, aku
harus tahu siapa wanita itu, selama ini aku terlalu percaya pada Mas Angga,
yang katanya baju istri Agusta dan dengan bodohnya aku percaya, aku harus
menangkap basah mereka, aku tak mau terkecoh, aku tak mau laki-laki yang aku
cintai dijerat oleh wanita gatal yang hanya mau pada uang dan kesuksesan Mas
Angga.
Aku memasukkan lagi
baju itu ke dalam tas kerja Mas Angga secara sembarangan, ia punya beberapa tas
kerja dan yang satu ini paling besar, aku kalap, aku buka lagi tas berwarna
coklat dan ternyata benar di dalamnya ada dua baju mewah, yang jelas dengan
model seksi, terbuka bagian punggung dan dadanya.
Aku meraung dengan
keras hingga duduk terjatuh di lantai, aku jadi ingat, mengapa awal-awal
menikah Mas Angga melarang aku masuk ke kamar kerjanya, apa sejak awal dia sudah
ada yang lain? Apa sejak awal dia punya wanita simpanan? Dalam hati aku
berjanji akan menangkap basah mereka berdua, cukup sudah lima tahun ia
berbohong. Aku juga jadi ingat mengapa ia selalu menutup matanya erat-erat saat
kami bercinta mungkin ia ingin menghadirkan wanita itu dalam angannya.
Aku jadi ingat
almarhum mami yang mengenalkanku pada Mas Angga saat aku putus asa karena
pacarku yang meninggal karena sakit, tak ada keinginan menikah dan mengiyakan
saja saat mami mengenalkanku pada anak temannya lalu tak lama kami menikah,
tapi dengan berjalannya waktu karena kebaikan juga kelembutan Mas Angga aku
bisa jatuh cinta tapi kini aku kembali sakit bahkan lebih parah, rasanya aku
sudah mati rasa. Akan aku temukan kau dengan wanitamu, bisikku dalam
hati.
.
.
.
"Ma, aku ada
janji dengan klien, maaf ya Ma, aku terburu-buru."
Tumben Mas Angga
pulang lepas Maghrib dan ke luar lagi, biasanya selama ini semua urusan kantor
diselesaikan sebelum ia masuk rumah, ah kebiasaan baru yang mungkin aku harus
curiga lagi, apalagi ia sempat membawa salah satu tas kerja yang ada di ruang
kerjanya.
"Maaa, jangan
berprasangka, aku benar-benar ke luar karena pekerjaan."
Seolah-olah ia tahu
apa yang aku pikir, sekali lagi tanpa melihatnya aku mengangguk. Begitu ia
menutup pintu depan aku bergegas ke kamar meraih jaket kulit hitam yang aku
padukan dengan t-shirt ketat dan celana jeans, memasang sneakers dan topi lalu
dompet aku raih secepatnya, dompet, ya hanya dompet yang aku pegang agar
memudahkan gerakku.
.
.
.
Aku bersyukur Kamis
malam ini jalanan tidak begitu padat hingga aku bisa terus mengikuti ke mana
arah mobil suamiku membelah jalananan. Dan alangkah kaget saat mobil suamiku
memasuki sebuah club remang-remang kelas menjijikkan, apakah dia hanya mencoba
mengalihkan perhatian orang-orang yang mengenalnya karena jika mendatangi club
bergengsi kemungkinan dia akan bertemu dengan rekan kerjanya yang memang punya
hobi mendatangi tempat seperti itu juga. Darahku semakin mendidih, artinya
selama ini dia telah berkencan dengan wanita-wanita tak jelas, seketika aku
bergidik ngeri alangkah menjijikkan selama bertahun-tahun dia menggauli aku
setelah menggauli wanita-wanita yang mungkin telah digilir banyak laki-laki,
tapi rasa penasaranku membuat aku terus menuju area parker dan lagi-lagi
seperti sedang mengintai mangsa aku tetap menjaga jarak tapi kali ini aku
kurang beruntung, aku kehilangan jejak suamiku. Tapi aku tetap melangkah menuju
pintu masuk lalu membayar First Drink Charge, selanjutnya aku melangkah,
berusaha bersikap wajar, meski baru kali ini aku masuk ke club bukan berarti
aku tak tahu tata cara masuk ke sebuah club, banyak petunjuk yang bisa aku
gunakan sebagai pemandu.
Sesampainya di dalam
betul-betul hiruk-pikuk yang membuat aku pusing, lalu aku mencoba duduk di
sebuah kursi, di depan bartender yang beraksi atraktif.
“Kayaknya lu baru
ya?”
“He eh, nyoba aja,
kali aja cocok tempat ini biar gue ga stress.”
“Hahahha di sini sih
tempat yang bikin stress malah, lu liat aja tuh di pojokan, jangan lu kira itu
cewek sama cowok, itu cowok semua ….”
“Mana? Pojok mana?”
Belum selesai bartender itu bicara aku sudah memotong.
“Itu yang saling
pangku, eh kita belum kenalan lu siapa?”
Aku tak menggubris
pertanyaan bartender itu karena aku fokus pada dua orang saling pangku,
samar-samar diantara sinar lampu yang berkedip suram aku melihat gurat wajah
Agusta. Dalam hati aku memaki laki-laki keparat, akan aku dekati dia dan akan
aku wakili istrinya yang baru saja dengan sok baik ia rayakan secara
besar-besaran ulang tahunnya, akan aku maki wanita tinggi besar yang asik
saling raup ciuman di pangkuannya. Betul-betul Agusta dibuat buta oleh wanita
gatal bertubuh raksasa, aku jambak rambut wanita berbaju merah menyala yang
mengangkang di pangkuan Agusta. Dan diantara kagetku karena rambut wanita itu
ada di tangaku, mataku terbelalak saat wanita di pangkuan Agusta menoleh ke
arahku. Dan…
“Mas Anggaaa … aaaa
…aaa … tidaaak … “
Tubuhku melayang
diantara lautan buih kebingungan dan kesakitaku, ternyata, ternyata … dan aku
mati rasa.
Beh... Ni kayaknya lagu unholy sam Smith ga sih🤣🤣🤣🤣🤣...
BalasHapus