Ibu

Bahwa terkadang harapan tinggallah harapan, tak pernah terwujud hanya tinggal asa yang menguap entah ke mana

"Lia, ibu mau tidur," ucap ibu sesaat setelah selesai aku suapi makan malam. Aku benahi selimut agar badan ibu terasa hangat, namun saat aku akan beranjak ibu memegang lenganku.

β€œIbu minta maaf, sudah memberimu kehidupan yang tak enak, adik-adikmu semuanya telah menikah, semua ikut suaminya sementara kamu di sini menemani ibu, harapan ibu, ibu cepat meninggal agar tak membebanimu.”

Aku tak menanggapi apa yang ibu katakan, aku usap lengan ibu tanpa berkata sepatah pun dan aku lihat ibu segera memejamkan mata, meski aku lihat di sudut matanya menetes air mata, entah untuk  siapa dan mengapa?

 Ibu aku rawat sejak dua belas tahun lalu karena stroke, berbagai macam pengobatan tak juga mampu membuat ibu kembali sehat karena pikiran ibu yang membuat semuanya semakin rumit, ibu selalu merasa bersalah padaku karena hanya akulah yang merawat beliau, sementara adik-adikku ikut suaminya berada di kota yang sangat jauh dan pulang menemui ibu setahun sekali, kadang dua tahun sekali. Aku tak masalah merawat ibu toh aku sudah tak ada keinginan menikah, di usiaku yang memasuki kepala empat, sudah terlambat juga, mungkin aku tak punya jodoh atau mungkin jodohku sudah meninggal dan kami akan dipertemukan di akhirat kelak. Bukan aku tak ada yang suka, dulu, duluuu sekali saat usiaku masih kisaran dua puluh tahun aku pernah menjalin cinta tapi kenyataan cinta yang aku alami tak semanis kisah-kisah di novel yang aku baca, ternyata aku diduakan hanya karena aku tak seperti wanita-wanita lain yang mudah diajak ke sana- ke mari meski tak ada ikatan jelas, ya sudah sejak saat itu aku merasa jika cinta tak akan pernah memberikan jalan mulus bagi hatiku.

Kembali pada masalah ibu, ibu selalu merasa bersalah tiap melihat wajah lelahku, padahal aku tak masalah, sejak kecil aku memang seperti ini tak mudah menyampaikan apa yang aku rasa lewat ekspresi. Ibu selalu menasihati aku untuk selalu tersenyum dan berwajah cerah agar hidup yang aku jalani akan terasa mudah, mudah dalam hal apa saja dan ibu berharap aku punya harapan baru tentang hidupku, ibu juga menasihati agar aku mulai membuka hati pada lawan jenis, tidak semua laki-laki punya sifat seperti laki-laki yang aku kenal dulu, cinta pertama yang kandas seolah mengajarkan aku jika wanita selalu menjadi objek, jika objek tak sesuai harapan maka selesai sudah dan lagi-lagi pupus sudah harapanku.

Malam hari tak biasanya ibu memanggilku berulang, buang air kecil juga tak terhitung, aku tetap seperti biasa, tak mengeluh dan tanpa ekspresi. Lagi-lagi seperti biasa ibu memegang lenganku saat aku hendak pergi kembali ke tempat aku berbaring, di depan kamar ibu, di kasur tipis di depan televisi. Aku tatap wajah ibu.

β€œLia, kamu sebenarnya cantik tapi tertutup oleh wajah lelahmu yang tanpa senyum, ibu pun akhirnya selalu merasa bersalah seolah ibu yang menghilangkan senyum di wajahmu, tersenyumlah Nak paling tidak orang akan ikut bahagia saat melihat senyum kita, bersedekah tidak harus dengan harta tapi bisa dengan cara sederhana, karena dengan senyum kadang orang berharap mimpi yang terpendam akan jadi nyata .” Aku hanya mengangguk namun ibu lagi-lagi meminta aku tersenyum akhirnya aku memberikan senyumku pada ibu meski aku tahu, pasti senyumku adalah senyum yang kaku.

Pagi hari aku bangun dengan badan lelah, lelah karena terus mengurus ibu tanpa sempat mengurus diriku sendiri, tiba-tiba saja aku ingat ibu yang bertingkah tidak seperti biasanya, segera aku bergegas ke kamar ibu untuk memandikannya, di sana aku lihat ibu yang masih tidur, aku mendekat ke ranjang ibu, di kasur lembut itu ibu yang selalu berwajah sabar tidur dengan tenang sambil tersenyum, tak sadar aku juga tersenyum melihat senyum damai ibu, tapi aku segera sadar jika wajah ibu terlihat pucat, aku sentuh badan ibu yang ternyata telah dingin, sangat dingin dan baru aku sadari jika ibu benar-benar tidur, dan takkan pernah bangun lagi.

Aku meraung sekerasnya, aku menangisi ketidakpekaanku pada ibu, ibu yang tiba-tiba saja buang air kecil berkali-kali, ibu yang terus memintaku tersenyum, ibu yang mengingatkanku untuk terus berbuat kebaikan. Sungguh aku menyesal karena sempat merasa lelah merawat ibu, jika mengingat semua yang ibu lakukan padaku dan adik-adikku karena kami ditinggalkan bapak ke alam baka saat kami masih kecil maka tak akan bisa diukur dengan apapun yang telah dikorbankan ibu pada kami. Kini menangispun tak akan bisa membuat ibu bangun, aku usap wajah damai ibu yang terus tersenyum. Aku akan segera menghubungi adik-adikku, akan aku kabari mereka bahwa ibu telah pergi dengan damai, dan berharap semoga mereka menyempatkan pulang agar masih bisa melihat senyum ibu untuk terakhir kalinya, sebuah keinginan dan harapan yang baru terbersit mengapa tidak sejak dulu aku sering menghubungi adik-adikku, memberi mereka kabar bagaimana menderitanya ibu saat berharap mereka datang tapi tak ada tanggapan, lalu jika saat ini, setelah ibu meninggal, aku sering menghubungi adik-adikku masih adakah seberkas harapan bahwa mereka akan tetap pulang ke rumah penuh sejarah ini? Yang telah menjadi saksi bagaimana kasih ibu tak akan lekang oleh waktu.




Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer